Ruang Naung
celoteh sesama insan arsitektur yang kehilangan arah
Bag.1. Titik Awal
Pemahaman dasar akan ruang dan arsitektur selalu berubah seiring dengan waktu,
adapun awalnya dibentuk oleh alam pertiwi melalui pijakan bumi dan isi vegetasi serta ruang teduh di bawahnya.
Manusia tropis mengenal ruang sebagaimana adanya alam, tanpa banyaknya batasan, lahirlah kumpulan di bawah bayangan pepohonan. Mahkluk tropis mengerti akan kebutuhan tentang ruang sebagai wadah aktualisasi diri, dan tercipta budaya sosial pada ruang luar alam.
Bag.2. Beradaptasi pada Modernitas
Manusia tropis belajar untuk lebih dari sekedar berteduh dari terik matahari dan derasnya hujan, menyelam lebih dalam kepada ruang privat dalam wadah sederhana penciptaruang : dinding, lantai, dan atap.
Mengadaptasi pemerataan modernitas dunia dalam sekedip mata,
manusia tropis terlena dalam dogma kuasa sekat, tanpa melirik fakta konteks hemosfer yang melatari cerita. Perkembangan pesat mulai merebut ruang dasar berbudaya, bersosialisasi, menikmati waktu, dan berbincang dengan alam.
Bag.3. Kembali pada Ruang “INTERSTITIAL”
Terlepas dari cepatnya serapan modern, manusia tropis merindukan alam, dan mulai merajut ruang-ruang antara, di mana mereka beraktualisasi sembari membangun kembali hubungan yang hilang pada bumi dan sesamanya yang tersekat.
Manusia tropis, agen perubahan dalam relung bingung ruang, mendefenisikan kembali arti dan nilai-nilai ruang luar dan dalam dalam kehidupan, menjadi titik balik pendekatan arsitektur mereka. Menemukan ruang-ruang tropis di dalam teknologi hijau dan berkelanjutan, merangkul alam dan adat dalam perspektif bahasa yang baru, melebihi kesederhanaan sebuah bangunan.
Karena ruang arsitektur Indonesia
dasarnya dirajut oleh ruang-ruang bernaung
dimana alam dan sesama saling berbincang.
a chatter of fellow architectural people who lost their way
Ch.1. Starting point
Basic understanding of space and architecture always changes with time,
as for initially formed by the natural world through the footing of the earth and the contents of the vegetation and the shade below.
Tropical humans recognize space as it is in nature, without many restrictions, a collection is formed in the shadow of trees. Tropical creatures understand the need for space as a place for self-actualization, and create a social culture in outer space.
Ch.2. Adapting to Modernity
Tropical humans learn to more than take shelter from the hot sun and the heavy rain, dive deeper into the private space in a simple container for creation: walls, floors and roofs.
Adapting even distribution of world modernity in a blink of an eye,
Tropical humans are engulfed in the power of dogma’s power dogma, without looking at the fact of the hemospheric context behind the story. Rapid development began to seize the basic space for culture, socializing, enjoying time, and talking with nature
Ch.3. Return to “INTERSTITIAL” Room
Apart from the rapid pace of modern absorption, tropical humans long for nature, and begin to knit intermediate spaces, where they actualize while rebuilding lost relationships on the earth and their stagnant neighbors.
Tropical humans, agents of change in niche confuse space, redefine the meaning and values of outer and inner space in life, becoming the turning point of their architectural approach. Finding tropical spaces in green and sustainable technology, embracing nature and adat in a new language perspective, exceeds the simplicity of a building
Because of Indonesia’s architectural space basically knitted by shelter spaces where nature and others talk to each other.